Senin, 11 April 2016

Rayon Siti Nafisah Kembali Gelar MAPABA



  
10 peserta serius mencermati materi demi materi dalam MAPABA Rayon Siti Nafisah (9-10/4). Peserta merupakan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang didominasi oleh

Selasa, 05 April 2016

Liga Kopi Membincang Public Speaking


Sedikit asal istiqomah akan lebih berkah kalimat itu yang coba diamini sahabat sahabati PMII Dukuhwaluh malam ini. Kalimat itu jualah yang membuat LIGA KOPI terus bergulir dengan atau tanpa banyak peserta . Dari minggu ke minggu forum diskusi ini mengupas berbagai hal yang dibutuhkan sahabat sahabati PMII. Karena memang tidak ada cara lain untuk meningkatkan kapasitas kecuali

Selasa, 15 Maret 2016

Menulis dan Ikhtiar BerPMII (catatan sebuah diksusi kepenulisan)



Ihwal menulis barangkali hal yang sepele bagi sebagian orang sekaligus menjadi amat rumit bagi sebagian yang lain. Menulis sepertinya soal bakat khusus yang hanya dianugrahkan pada orang-orang pintar semata. Sehingga kita yang merasa tidak berbakat dus tidak pintar akan sangat sulit untuk menulis sesuatu. Karena alasan itu pulalah

Selasa, 08 Maret 2016

Tentang Diskusi Film Soedirman



(Oleh: Fajar, Wakil ketua bidang kaderisasi dan kajian keilmuan)

Gelak tawa dan debaran dada silih berganti mengiringi acara diskusi film yang diselenggarakan PMII Komisariat Dukuhwaluh dan Rayon Siti Nafisah malam ini (7/3). Film Soedirman yang disajikan sebagai bahan diskusi benar-benar menguras emosi para peserta. Berbagai adegan memaksa peserta menahan nafas. Misalnya saat Karsani, salah satu pemeran tentara rakyat, ditodong senjata dari berbagai penjuru. Karsani dipaksa menunjukkan persembunyian Jendral Soedirman. Ia menolak sehingga tanpa ampun peluru-peluru penjajah menghujami dada dan kepalanya. Namun tak jarang guyonan khas dan berbagai tingkah konyol tentara rakyat, yang umumnya tak berpendidikan militer, mengocok perut para peserta. Sungguh perpaduan yang apik.

Selesai film diputar, dilanjutkan dengan sesi diskusi. Berbagai pandangan dan pernyataan muncul dari para peserta yang didominasi calon anggota PMII. Benar saja, film yang diputar membuat semangat mereka meledak-ledak. Banyak nilai-nilai yang terkandung dalam film Soedirman yang menggugah heroisme nalar peserta. Beberapa peserta mengaitkan perjuangan Soedirman dengan konteks kehidupan sekarang. Salah satunya adalah tentang semangat dan optimisme Jendral Soedirman yang menurut Aras—salah seorang peserta—relevan diterapkan bahkan di zaman pasca perang seperti saat ini. Menurutnya perjuangan adalah tentang semangat dan optimisme. 

Pendapat senada di sampaikan oleh Laila, mahasiswa fakultas pendidikan ini melihat bahwa dunia pendidikan harus meneladani semangat perjuangan Soedirman. Idenya adalah bahwa sebagai calon pendidik kita harus berperang melawan kemrosotan moral bangsa. Baginya persoalan dekadensi moral adalah sesuatu yang harus diperangi. Ada juga yang jeli melihat peran agama dalam perjuangan Soedirman. “ Yang membedakan perjuangan orang islam dan non islam adalah do’a” begitu ujar Hasan, Mahasiswa IAIN Purwokerto ini menyimpulkan. Di beberapa adegan dalam film itu memang menampilkan ritual agama (Islam). Bahkan ada adegan di mana Soedirman dikepung oleh Belanda, dan dengan tenang Sang Jenderal Besar ini mengajak tentaranya menyaru menjadi warga yang sedang Tahlilan. Soedirman beserta tentaranya pun lolos.

Dalam keseluruhan film tersebut jelas sekali tersirat pesan bahwa kemerdekaan kita diperoleh berkat perjuangan pahlawan yang begitu heterogen. Masing masing tokoh mengambil peran sesuai posisinya masing-masing. Kepahlawanan Indonesia sama sekali tak bisa dimonopoli dan diklaim sebagai perjuangan dari salah satu golongan semata. Adalah perang gerilya yang dikomandoi Jendral Soedirman. Diplomasi internasional yang dipimpin Soekarno-Hatta. propaganda akar rumput yang digawangi Tan Malaka. Serta dakwah para agamawan untuk mempertahankan tanah airlah yang membuat bangsa ini merdeka. Tentu masih banyak lagi para pahlawan tak tercatat yang telah banyak berperan. Pun dengan rakyat jelata yang secara kontributif menyumbangkan harta benda bahkan nyawanya untuk perjuangan para pahlawan. Negeri ini sungguh diperjuangkan dengan semangat kolektifitas dari begitu banyak perbedaan.

Namun demikian film tersebut dinilai masih memiliki tendensi tertentu. Setidaknya terlihat saat menggambarkan tokoh-tokoh komunis seperti “penumpang gelap”. Pemberontak. Hal ini lumrah dalam kajian sastra. Acapkali unsur ekstrinsik memiliki pengaruh besar pada karya sastra, yang dalam hal ini film Soedriman. Sebenarnya, tanpa mengecilkan para tokoh lain, peran Tan Malaka juga signifikan untuk kemerdekaan Indonesia. Ya, tentu dengan posisi Tan saat itu. Ide-ide Tan kerap mengilhami Soekarno dalam berbagai pengambilan keputusan.

Sejatinya kecurigaan kita pada bahaya laten komunis yang kerap diasosiasikan pada ideologi anti agama juga patut dipertanyakan. Setidaknya jika kita mencermati ide Tan Malaka dengan gagasan Pan Islamisme. Dalam pidatonya di Konggres Komunis Internasional, Tan secara gamblang menentang dikotomi Komunisme dan Islam. Setidaknya bagi Tan, Islam bisa berkolaborasi dengan Komunis untuk mencapai misi keduniaannya. Dengan mencontohkan Serekat Islam Tan, mengatakan Islam mampu mendorong semangat nasionalis-revolusioner. Hal ini yang oleh Tan selaras dengan semangat Komunis, setidaknya yang ada di Indonesia. Lewat Front Bersatu Tan seolah mengatakan “Komunis bukanlah anti agama dan ideolgi lain. Kita bisa bersatu melawan penjajah”.

Saya sendiri bukanlah penganut ataupun pembela komunisme. Bukan pula kaum fundamentalis garis keras yang menghendaki negara Islam. Saya adalah Pancasilais tulen. Paling tidak itu yang diajarkan oleh para guru di sekolah-sekolah dulu. Bagi saya Indonesia telah sangat cerdik menggabungkan ide besar dari beberapa ideologi besar. Soal sosialis-komunis kita paling sosialis. Buktinya Pancasila kita mengamanatkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soal Islami kita juga paling Islami. Nyatanya Ketuhanan menjadi urutan pertama dalam dasar negara kita. Kalau dibilang liberal (baca: demoktris) negara kita juga cukup liberal. Bukan hanya karena kebebasan berpendapat yang dilindungi UUD kita, Pancasila kita juga memerintahkan untuk berdialog lintas struktur bangsa lewat Musyawarah mufakatnya dalam menyelesaikan ragam problematika.

Melihat begitu banyak pejuang yang dengan gagah berani telah mengorbankan segala yang mereka punya untuk harga diri bangsa dan negara saya jadi tergelitik untuk bertanya. Apa kabar semangat perjuangan kita wahai anak muda? Adakah sesuatu yang sudah kita lakukan untuk mensyukuri perjuangan mereka yang gugur di medan laga? Yah, paling tidak dengan sekedar duduk berdiskusi. Syukur bersama PMII.

Salam Pergerakan! M E R D E K A !!

Minggu, 27 Mei 2012

Dari PMII, Oleh Mahasiswa untuk Masyarakat


Sanggar Belajar merupakan salah satu layanan yang dapat diberikan dalam lingkup pendidikan non formal. Sanggar belajar dapat menyediakan sejumlah aktivitas seperti kegiatan kreativitas dan ketrampilan vokasional maupun personal dan sosial bagi anak-anak.
 
Dalam menjawab sebuah tantangan sebagai mahasiswa yang progresive dan turut serta berkontribusi membangun bangsa adalah tanggung jawab moral. Kehidupan yang majemuk dan kompleks yang menimbulkan tatanan masyarakat merupakan wadah aktualisasi dimana proses itu ada.
 
Dengan ini, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang terdiri atas komisariat dan Rayon Siti Nafisah Dukuhwaluh - Purwokerto merupakan sebuah wadah real untuk eksistensi pergerakan mahasiswa yang berupaya untuk memajukan martabat bangsa ini. Pendidikan yang dinilai sebagai aspek landasan dasar bahwa bangsa itu mampu tumbuh dan berkembang di tengah geliat pembangunan negeri ini.
 
Latar belakang yang menggawangi pergerakan kali ini adalah pendidikan yang harus digerakan bersama dengan dedikasi dan penanaman nilai ( transver of value ) guna mencirikan pendidikan berkarakter untuk menggagas paradigma tentang pendidikan yang merakyat, memiliki nilai di masyarakat serta eksistensi mahasiswa sebagai penggerak di dunia pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang akhir-akhir ini di branding   dengan harga mahal, membuat kami menepis anggapan itu jauh-jauh. Bahwa pendidikan dapat disegarkan dengan langkah – langkah innovasi yang penuh dedikasi. Dengan berbagai opportunities yang menciptakan ladang untuk membuktikan bahwa dengan mengemban  amanah tersebut berupaya mewujudkannya. Semangat positivisme hadir dalam sebuah langkah nyata, persembahan dari PMII, oleh Mahasiswa, untuk Masyarakat.
 
Sanggar Belajar Sahabat Ceria , adalah bentuk dari gagasan sahabat – sahabati dan dinilai sebagai gerakan kongkrit untuk ikut membangun karakter bangsa. Memperbaiki kualitas sumber daya manusia bisa dilakukan sekarang, tanpa menunggu lagi kapan dan siapa. Karena perubahan itu adalah kita yang memulai, dan memberikan inspirasi bagi sekitar lingkungan anda!

Supported by :

Rabu, 09 Mei 2012

Satu Tuhan Banyak Agama


Oleh: Alfian Ihsan*


Keberagaman agama merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari oleh manusia. Dalam perjumpaan antar agama dan interaksi antara para pemeluknya hendaknya menekankan sebuah sikap yang terbuka, toleran dan saling menghormati. Alangkah indahnya jika kehidupan yang majemuk terbingkai dalam kedamaian, sehingga tak ada lagi konflik dan pertikaian berbasis agama.

Untuk menghadirkan sikap yang terbuka dan toleran, Menurut Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat ini pemeluk mesti terlibat dialog dan perjumpaan dengan pemeluk agama yang lain. Hal ini agar umat beragama tidak terkejut untuk memasuki kehidupan dan pergaulan yang semakin global.

Pluralisme merupakan kata kunci dalam mewujudkan idealitas yang diharapkan. Sebuah sikap yang meyakini bahwa segenap agama – agama dan keyakinan adalah jalan – jalan keselamatan menuju Tuhan. Kemajemukan agama adalah kehendak Tuhan yang mutlak dan sebuah keniscayaan yang masing – masing berdiri sejajar. Karena itu satu agama tertentu tidak berhak memvonis benar tidaknya agama lain, karena pada dasarnya keselamatan dapat dicapai melalui berbagai agama.

Beberapa tokoh sufisme islam, yaitu Ibnu Arabi, Al-Rumi dan Al-Jili pada zaman perkembangan pemikiran islam masa klasik, kelompok sufisme memang cenderung lebih bersikap toleran dan plural terhadap agama lain. Hal ini karena mereka tidak hanya melihat suatu hal dari sisi fisik dan bentuknya ( eksoterik ) saja, tetapi mereka lebih fokus terhadap dimensi substantif atau esensi ( esoterisme).

Dengan kedalaman pengetahuan syariat, mereka telah mampu mengungkap makna dari sebuah ritual ibadah dan norma agama. Tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan menjalankan perintah, tapi lebih dari itu, ritual ibadah dan norma agama merupakan manifestasi dari perwujudan Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia.

Lalu mengapa dalam perwujudan di dunia, muncul beragam agama dengan norma dan ibadah yang berbeda. Hal ini menurut Ibnu Arabi karena Tuhan Yang Satu menampakkan diriNya ( tajalli ) dalam wujud yang tak terbatas terhadap manusia yang memang diciptakan dengan karakter, kondisi dan lingkungan yang bermacam – macam.

Dengan kondisi yang bermacam – macam inilah, kualitas manusia dalam merespon tajalli Tuhan sesuai dengan kesiapan dan daya terima masing – masing. Hal ini merupakan akar dari terciptanya perbedaan agama berikut ibadah dan syariatnya.

Ibnu arabi mengatakan “ Esensi hanya satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka. Hal yang demikian itu tidak tampak, kecuali bagi orang yang mengetahui.

Karena itu bagi Ibnu Arabi, meskipun Tuhan Maha Esa, tetapi kepercayaan-kepercayaan terhadapnya yang berimplikasi menjadi agama-agama, menjadikan DIA bermacam-macam. Maksudnya menghadirkan Dia dalam berbagai penampakanNya. Walau sesungguhnya Tuhan di dalam DiriNya sendiri mutlak tak terjangkau. Dia tak dapat dibatasi oleh apapun dan siapapun termasuk oleh kemahamutlakanNya. Dia sepenuhnya terlepas dari segala bentuk keterbatasan dan pembatasan.

Ibnu Arabi mengaitkan perbedaan tajalli dengan syariat para nabi dan rasul. Karena mereka diturunkan dalam waktu, masyarakat dan kondisi yang berbeda, maka syariat yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan mereka. Seperti firmanNya dalam Al-Qur’an “ Untuk tiap – tiap umat diantara kalian, Kami berikan jalan dan metode (aturan hidup)” (Al-Ma’idah: 48)

Setiap perbedaan yang terjadi merupakan Rahmat Tuhan, Ibnu Arabi mengatakan “ Ketika Tuhan adalah akar dari segala keragaman keyakinan di alam ini, dan ketika Dia yang menyebabkan eksistensi segala sesuatu di alam sesuai ketentuan tanpa terasuki oleh apapun, maka segala sesuatu ada karena Rahmat-Nya ”

Dalam perbedaan persepsi manusia yang menyebabkan munculnya beragam agama, Rumi menghendaki agar kita bisa lebih bijak dalam menyikapinya. Rumi menegaskan agar manusia selalu melihat sisi batiniah dan jangan hanya terjebak pada wujud lahiriah. Karena masing – masing bentuk di dunia ini memiliki maknanya sendiri – sendiri di dalam Tuhan, yaitu dalam sekumpulan bentuk terdapat kesatuan makna.

Dalam puisinya Rumi menyatakan :

Lampu – lampu memang berbeda, namun cahanya satu dan sama

Lampu barang – barang tembikar dan sumbunya boleh berbeda

Tetapi cahanya satu dan sama

Cahaya itu berasal dari Tuhan

Bagi Rumi, hal terpenting untuk dipahami dan dihayati adalah esensi bukan semata manifestasinya, atau dalam bahasa lain adalah mutiaranya bukan kerangnya, Seseorang yang telah memahami isi, esensi dan makna dibalik bentuk atau kata maka yang dilihat dan dipahaminya adalah satu; kesatuan segala bentuk dan manifestasi, karena esensi hanya satu, tidak beragam dan tidak berbilang.

Hendaknya kita memahami bahwa agama – agama ibarat kendaraan bagi manusia untuk menempuh perjalanan dan bukan tujuan mereka menempuh hidup. Perbedaan hanya pada bentuk dan ritus, tetapi tidak pada watak sejati iman. Karena esensi iman hanya satu, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Absolut, Tuhan yang tidak terbatasi oleh ruang, waktu dan imajinasi manusia. Esensi dari keimanan adalah sebuah kerinduan manusia yang mendambakan, bergantung dan mencintaiNya, meski dengan ekspresi yang berbeda.

Ketika manusia telah mampu melampaui simbol dan formalitas agama lalu melihat ke dalam batin, maka yang dia temui bukanlah nama atau bentuk, melainkan dimensi esoterik dengan satu kesempurnaan yang sama, hanya merasakan satu cinta kepada Tuhan yang sama. Maka sampailah dia kepada apa yang disebut Rumi sebagai “Agama Cinta”, Cinta kepada Tuhan sebagai bentuk keimanan yang paling tinggi mengarahkan segenap pengabdian manusia kepadaNya.

Al Jili menyatakan bahwa Dzat Tuhan Yang Hakiki tidak terbatas seperti apa yang dinamai dan dikonsepkan oleh manusia. Tapi Tuhan secara Mutlak berada di balik lahiriah nama – nama dan atribut – atribut dalam konsepsi manusia. Karena sesungguhnya Dzat Tuhan mencakup keseluruhan penampakan, manifestasi, nama, sifat, ketetapan dan kesempurnaanNya.

Sehingga hanya ada Tuhan Yang Satu dan Sama yang menjadi objek sesembahan semua pemeluk agama yang beriman akan keberadaanNya. Oleh karena itu, setiap pengabdian spiritual para pemeluk agama yang beraneka akan bertumpu pada satu Tujuan, yaitu Tuhan sebagai Zat yang juga menjadi Sumber Asal – Muasal mereka.

Di hadapan makna, apalah arti bentuk!

Makna langit tetap tersembunyi di tempat persembunyiannya

( Rumi )

*Ketua Umum PMII Komisariat Dukuhwaluh 2012-2013

Sabtu, 05 Mei 2012

Merajut Perbedaan, Membangun Kebersamaan

 
 Oleh: Abdul Syukur
Pendahuluan
         Adanya diversitas –etnik, budaya, bahasa, maupun agama—adalah fakta yang tidap dapat dibantah. Ia adalah hukum alam (sunnatullah) dan, oleh karena itu, sejarah memperlihatkan bahwa setiap proses ke arah penyeragaman dari kenaeka-ragaman yang cenderung menemui kegagalan, karena bukan saja ia harus menyatukan bermacam-macam kepala dan kehendak dari manusia yang berbeda tetapi ia juga bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah) yang mesyaratkan adanya perbdaan dalam kehidupan manusia.
          Petuah Begawan Prapanca “Bhinneka Tunggal Ika”, yang kemudian menjadi semboyan negara Indonesia, sangat menyadari adanya keaneka-ragaman atau diversitas agama, yaitu antara agama Hindu dan agama Buddha, tetapi ia juga kemudian mengingatkan perlunya kesadaran dan oengetahun tentang hakikat tujuan dari setiap agama yaitu mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
          Selain multi-etnik dan budaya, masyarakat Indonesia juga multi-agama. dalam melihat kenyataan yang demikian, para pendiri bangsa memperlihatkan sikap yang sungguh sangat bijaksana ketika merumuskan dasar dan falsafah Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Diktum pertama dari Pancasila, “Ketuhan Yang Maha Esa”, merupakan consensus sosilogis yang mengikat semua warga negara dengan latar belakang agama yang berbeda.
           Tidak dipungkiri adanya perbedaan atau keaneka-ragaman kerap menimbulkan konflik di masyarakat. Dalam satu hal, kepercayaan agama dapat mengikat manusia yang berbeda latar belakang –status sosial, ekonomi, ras, etnik, geografis—ke dalam ikatan solidaritas sosial yang sangat erat. Di lain pihak, masalah agama adalah masalah yang sangat sensitive sehingga tidak jarang terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh adanya perbedaan agama maupun pemahaman, atau menjadikan agama sebagai alat untuk meraih tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi tertentu. Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita menyikapi dan mengelola perbedaan agama sehingga perbedaan tersebut tidak membawa kepada bencana melainkan mendatangkan rahmat dalam kehidupan bersama?

Bukankah Tuhan itu Hanya Satu?
          Ketika mendiang Soekarno mengemukakan perumpamaan bahwa adanya pluralitas agama itu ibarat beberapa orang buta yang berusaha mengenali bentuk gajah, memang dapat menyesatkan dan disalah-tafsirkan bahwa perumpamaan tersebut sama dengan menganggap “benar” semua agama yang ada. Akan tetapi, di balik perumpamaan tersebut terdapat makna filosofis yang sangat dalam, bahwa hakikat Tuhan itu terlalu besar untuk dipahami oleh akal pikiran manusia yang naïf. Akibatnya, setiap pemahaman manusia, siapapun orangnya, tentang Tuhan, adalah terbatas dan setiap penafsiran, di mana pun manusia berada, tentang Kebenaran Tuhan bersifat relatif.
          Orang yang beragama harus yakin terhadap kebenaran agamanya masing-masing. Di samping itu, setiap orang, setiap pemeluk agama, juga harus belajar menghargai kebenaran agama sebagaimana yang dipahami orang lain. Kesalahan yang sering terjadi baik di masa lampau maupun masa sekarang di kalangan orang-orang tertentu adalah menganggap bahwa kebenaran agama yang dianutnya adalah yang paling benar –memang harus demikian!- dan memaksa orang lain untuk mengikuti pemahaman tentang kebenaran agama yang dipeluknya tersebut menurut jalan pikirannya sendiri.
          Kalau Tuhan itu hanya satu, dan hakikat Tuhan itu terlalu agung untuk dibatasi oleh akal-pikiran manusia yang kerdil, mengapa terlalu khawatir ketika orang, dengan maksud untuk mencari Kebenaran, harus mempelajari agama orang lain? Hal ini biasanya karena orang merasa puas dengan cara berpikir secara parsial dan, yang secara substansial, bneragama atau memeluk suatu agama tidak didorong oleh rasa cinta kepada Tuhan yang universal. Salah satu contohnya adalah kasus penghancuran Masjid Babri di Ayodhya, India, pada awal tahun 1990-an.
           Bagi orang Hindu, Rama yang lahir di Ayodhya dianggap sebagai avatar atau penjelmaan Dewa Visnu dan Visnu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu didirikanlah candi di tempat tersebut sebagai peringatan bahwa di sana tempat dilahirkannya Rama. Namun pada masa kekuasaan muslim Moghul yang anti berhala, candi tersebut dirobohkan dan, sebagai gantinya, kemudian didirikanlah masjid Babri di atas reruntuhan candi tersebut. Akibatnya, orang Hindu yang sadar akan makna sebuah candi menuntut kembali tempat itu dan terjadilah aksi penghancuran masjid Babri tersebut. bukan hanya candid an mesjid saja yang hancur, tetapi juga tidak tidak sedikit korban jiwa yang melayang baik dari kalangan Hindu maupun Muslim. Tidak berapa lama berselang, di Indonesia, terjadi pula penghancuran gereja oleh orang-orang Islam (lokasi persisnya tidak tahu) di Jawa Timur. Dan penghancuran gereja di Jawa Timur, disusul kemudian terjadinya pengrusakan beberapa mesjid dan gereja Protestan di Timor Timur.
           Kita tahu betapa orang Hindu menghormati dan mencintai Rama yang dianggap sebagai penjelmaan Visnu sebagaimana orang Islam mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tetapi orang juga tahu arti sebuah mesjid bagi orang muslim di mana orang Islam melakukan sujud dan memanjatkan doa sebagaimana orang mengetahui arti sebuah gereja bagi orang Kristen di mana mereka memuja Yesus dan memohon rahmat Allah Bapa. Sekarang pertanyaannya adalah: apakah demi kecintaannya terhadap Rama dan Visnu maka orang-orang Hindu dibenarkan menyakiti hati umat muslim? Pertanyaan yang sama juga berlaku: apakah demi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya sehingga umat Islam dibenarkan menghancurkan gereja umat Kristen? Atau, apakah Allah Bapa dan Yesus Kristus merasa senang manakala orang Kristen menghina Nabi dan Kitab Suci umat Islam?
           Kepercayaan orang Hindu terhadap Visnu, keyakinan umat Islam terhadap Allah dan pengakuan umat Kristen terhadap Ketuhanan Yesus, tidak berarti bahwa Tuhan itu banyak sehingga memingkinkan adanya anggapan bahwa Tuhan itu banyak dan terjadi pengkavlingan wilayah kekuasaan Tuhan. Tidak berarti bahwa orang Hindu diciptakan oleh dan mendapat rizki dari Visnu, orang Islam diciptakan oleh dan memperoleh rahmat dari Allah, sedangkan orang Kristen diciptakan oleh Allah Bapa dan menerima rahmat dan anugrah dari Yesus Kristus. Yang benar adalah: hanya ada satu Tuhan, Dialah Pencipta alam semesta dan semua manusia baik yang beragama Hindu, Islam, maupun Kristen dan yang lainnya.

Pulang ke Rumah, Buka Jendela dan Tengok Tetangga
          Suatu ketika dalam diskusi umum, Ninian Smart pernah ditegur oleh seorang ahli teologi Kristen karena Smart membahas masalah penciptaan selain dari sudut pandang agama Kristen juga dari perspektif agama Buddha. “Apa perlunya kita memperbincangkan agama Buddha, bukankah agama Buddha itu bertentangan dengan Injil, dan Injil agama Kristen adalah kebenaran mutlak yang kita perlukan?”. Kemudian Smart dengan ringkas menjawab, “Sesungguhnya, untuk mengetahui bahwa agama Buddha itu bertentangan dengan Injil agama Kristen anda mesti banyak membaca”. Dan ini pula yang penulis maksudkan ketika menulis kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits di muka. Ini tidak berarti bahwa kita belajar dan mengetahui agama yang lain untuk saling menghujat dan menepuk dada sendiri. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu introspeksi: berkaca untu melihat diri sendiri. Karena berkaca memerlukan cermin dari orang lain maka setiap agama, setiap orang, perlu saling belajar dari orang lain,.
          Orang yang beragama adalah ibarat seorang hamba sahaya yang berkelana mencari tuannya, berjalan dari suatu tempat ke tempat lainnya, bertanya kepada setiap orang yang kebetulan berjumpa di tengah perjalanannya, tetapi ia tidak pernah tahu bagaimana identitas tuannya tersebut. begitu juga dengan orang beragama atau manusia pada umumnya. Kita tidak pernah tahu bagaimana hakikat Tuhan yang sesungguhnya. Teologi bukan jawaban. Ia laksana orang yang mengukur berat gunung dengan neraca emas. Atau ibarat bocah kecil yang memasukkan air laut ke dalam botol mainannya. Kalau begitu, kemana kita harus mencari tuan kita?
          Pulang ke rumah masing-masing, karena di sanalah kita bisa berjumpa dan mengetahui tuan kita. Bukan berarti tuan kita banyak, tetapi karena dialah satu-satunya pemilik rumah kita semua. Tetapi di rumah mana ia berada? Di mana saja karena ia berkehendak demikian. Oleh karena itu bukanlah jendela rumah kita supaya kita dapat melihat matahari dan merasakan kehangatannya. Lewat jendela itu kita juga dapat melihat rumah orang lain justru karena ada cahaya matahari. Orang tidak akan dapat melihat suatu objek atau benda kalau tidak ada cahaya. Dan yang lebih baik lagi apabila kita berkunjung dengan tetangga-tetangga kita.
          Dengan berkunjung kita akan lebih mengetahui keadaan tetangga kita yang sebenarnya. Dengan berkunjung kita akan mengetahui bahwa kamar mandi rumah kita lebih baik atau lebih kotor dari pada kamar mandi orang lain. Bagaimana kita mengetahui bahwa bangunan rumah kita itu bagus apabila kita tidak melihatnya dari luar rumah kita sendiri? Ini tidak berarti bahwa dalam studi agama-agama menuntut agnotisme metodologis atau bahkan ateisme untuk memenuhi criteria ilmiah sebagaimana diklaim oleh sebagian orang,[6] karena keluar rumah tidak berarti menjual rumah. Meskipun seseorang menginap di kamar tidur rumah orang lain tetapi kepemilikan rumahnya sendiri tidak menjadi lepas karenanya.
          Selain itu, dengan saling berkunjung kita dapat saling belajar. Dengan saling berkunjung kita maisng-masing akan mengetahui apa kekurangan dan kelebihan kita dan apa kelemahan dan kelebihan orang lain sehingga masing-masing dapat lebih memperbaiki diri lagi. Lebih dari itu, sebagai sesama tetangga kita dapat saling menjaga dalam rangka memelihara keamanan lingkungan bersama.

Mari Bergandeng Tangan
          Persoalannya sekarang justru terletak pada kemauan dari seriap umat beragama untuk saling berusaha memahami dan saling menghormati jalan berpikir satu sama lain, betapa pun berbeda. Atau, dengan kata lain, persoalannya adalah terletak pada pertanyaan: Adakah kemauan dan usaha untuk bekerja sama dari setiap umat beragama dalam realitas kehidupan yang plural? Tidakkah kita mau belajar dari taman bunga yang meskipun terdapat bermacam-macam bunga tetapi tidak ada bunga yang makan bunga? Sebaliknya, setiap bunga dengan warnanya masing-masing yang berbeda menyumbangkan keindahan kepada taman tersebut sehinga sedap dipandang mata. Saya kira ini pelru segera disadari dan kesadaran demikian akan terealisasi apabila disertai kesadaran bersa,a bahwa arus industrialisasi dan modernisasi telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam setiap bidang kehidupan manusia, termausk bidang keagamaan. Ini, disadari atau tidak, telah menjadi kenyataan dan kenyataan ini, bukan rahasia lagi, sulit dihindari.
          Efek samping dari arus industrialisasi dan modernisasi ini adalah tumbuh-suburnya sikap hidup yang materialistis dan terjadinya pendangkalan nilai-nilai spiritual yang adalah merupakan musuuh dari setiap jiwa agama. Oleh karena itu, tidaklah cukup kiranya bahwa setiap agama mengutuk materialisme sambil merasa puas dengan harapannya sendiri-sendiri. Sebaliknya, akan tampak lebih bijak apabila semua agama menjadikan proses pendangkalan nilai-nilai spiritual ini sebagai tantangan bersma dari setiap umat beragama. Adalah ironis seandainya setiap pemeluk agama masih senang bertengkar satu sama lain sementara musuh mereka sudah berada di depan mata dan bahkan telah merasuk dalam kehidupan mereka. Lebih ironis lagi adalah adanya pertengkaran yang terjadi antara sekte atau aliran dalam suatu agama tertentu sementara mereka mengakui berasal dari sumber yang sama. Quo vadis umat beragama. Jawabannya tiada lain: Mari kita bergandeng tangan!

www.interfidei.or.id