Senin, 27 Desember 2010

Natal dan Pluralitas Beragama

Natal adalah sebuah momentum umat kristiani untuk kembali merajut cinta kasih dalam kedamaian. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, setiap menjelang perayaan natal umat kristiani memiliki kekhawatiran akan ancaman teror bom yang merusak suasana damai dalam ibadah mereka. Hal itu membuat Polri menurunkan pasukan untuk memastikan keamanan di setiap gereja, pengamanan ini dilakukan di segenap gereja di Indonesia.
“Teror ancaman bom di Jawa Tengah menjadi perhatian polisi” (Jenderal Edward Aritonang, Kapolda Jateng, 24 Oktober 2010, Kompas)
Kenyataan semacam ini begitu merisaukan karena terjadi di negara yang mengakui kebebasan beragama. Perayaan hari besar sebuah agama malah menimbulkan kekhawatiran karena adanya oknum fundamental yang berusaha merusak kerukunan umat beragama dan persatuan bangsa.
Masih lekat di otak kita adanya penyerangan terhadap pendeta gereja HKBP oleh sekelompok Kaum fundamental atau penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di beberapa tempat.
Beberapa hal semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi jika kita memahami kondisi bangsa yang pada awalnya dibentuk oleh komunitas yang majemuk. Nurcholis Madjid menegaskan bahwa pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi harus diaplikasikan sebagai sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal tolak untuk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang membawa kebaikan dan kemaslahatan. (Nurcholis Madjid, 1995;52-67 )
Apa yang disampaikan Cak nur adalah teori pluralisme menurut beliau. Dalam sebuah teori lain dari Franz Magnis Suseno menuturkan pluralisme : suatu implikasi dari sikap toleran: kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang dengan keyakinan agama yang berbeda.
Untuk lebih memahami pluralisme kita coba menyimak apa yang disampaikan oleh beliau mantan ketua PBNU dan juga cucu dari Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri NU.
K.H. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Beliau menyatakan agama yang paling benar adalah Islam. Tetapi beliau juga tidak membenarkan seseorang memaksakan agama kepada orang lain, apalagi mengafirkan penganut agama lain, karena sesama muslim saja dilarang saling mengafirkan.
الْغَيِّ مِنَ لرُّشْدُ تَبَيَّنَ تَبَيَّنَ قَدْ الدِّينِ فِ إِكْرَاهَ لا
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (Q.S. Al-Baqarah 256)
Ini yang beliau sebut pluralisme keagamaan yang mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat hidup berdampingan. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya. Dan juga bertujuan untuk menjaga stabilitas serta menguatkan sendi-sendi persatuan bangsa.
Gus Dur sangat dihormati di kalangan minoritas beragama seperti kristen dan konghucu karena selalu membela kepentingan mereka dan menjaga silaturahmi. Tidak jarang beliau melakukan dialog antar umat beragama dan dari hal itu pula beliau merubah cara pandang mereka terhadap islam. Sampai hari ini jika kita berbincang-bincang dengan umat kristen atau konghucu maka tokoh Islam Indonesia yang mereka puji adalah Gus Dur.
Dalam sebuah wawancara oleh Jawa Pos Hasyim Muzadi menuturkan, pertama bertemu dengan Gus Dur sekitar 1975. Waktu itu, Gus Dur menjadi pengajar umat Kristen yang tergabung dalam GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan). Saat itu, pilihan Gus Dur tersebut menyulut para kiai. Menghadapi gunjingan tersebut, Gus Dur malah menganggap enteng. "Nanti kan mengerti sendiri," kata Hasyim menirukan jawaban Gus Dur waktu itu.
Setelah dipikir-pikir, Hasyim menyimpulkan, ternyata tindakan Gus Dur memang tidak salah. Sebab, orang Kristen itu adalah salah satu bagian dari Indonesia. Terlebih lagi, selama mengajar dulu, Gus Dur mulai meluruskan anggapan orang Kristen terhadap Islam.
Berpijak pada konsep pluralitas, PMII menganjurkan pentingnya bertoleransi (tasamuh). Seperti yang tertera dalam I’tiqad Aswaja sebagai landasan berfikir Kader PMII. I’tiqad Aswaja sebagaimana yang digunakan sebagai landasan beragama oleh NU memiliki kelenturan dalam bertoleransi ketika bersinggungan dengan ajaran agama yang lain. Bertoleransi merupakan wujud dari kedewasaan kita dalam beragama dan menunjukkan keramahan agama kepada penganut agama yang lain. Karena Islam dibesarkan dengan kedamaian sebagai Rahmatan lil alamin.


0 komentar:

Posting Komentar