Rabu, 11 April 2012

Kepentingan Versus Nilai

Ketika Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya menemukan dorongan terkuat dalam diri manusia untuk hidup adalah hasrat dan digumpalkan dalam libido yang di dalamnya berupa daya hidup (eros)-lawannya daya perusak (thanatos)-orang disadarkan untuk mengontrolnya melalui “akal budi” atau kesadaran rasionalitas.

Di sini, kesadaran yang awalnya merupakan pengontrol atas hasrat, lalu berfungsi semakin penting karena bertugas pula untuk “menerima apa adanya dan memproses pengalaman-pengalaman traumatik manusia kalau dia mau hidup sehat psikisnya.” Hasrat adalah ranah spontan yang netral. Artinya, begitu dia menyeruak muncul, kontrol akal budilah yang dengan kesadarannya menimbang untuk dituruti atau ditunda atau disublimasi. Namun, soal hasrat-menghasrati ini akan semakin rumit manakala F Nietszshe menunjuk adanya hasrat untuk terus berkuasa atau kekuasaan (the will to power).

Bagaimanakah menyikapinya? Sejalan dengan penemuan Freud, ketika hasrat muncul untuk berkuasa, ada tiga pilihan dalam memenuhi. Semuanya tetap diatur kesadaran akal budi rasional manusia. Pertama, dipenuhi melalui prinsip realitas. Artinya, realitas yang ada, bisa tidak menjadi ajang perwujudan hasrat ini.
Kedua, dipenuhi dan dituruti demi prinsip penikmatan. Kalau hasrat itu akan memberi nikmat, penuhi sajalah. Ketiga, melalui jalan tengah prinsip sublimasi, tak bisa memenuhi dengan dua cara tadi lalu membelokkan dan mengganti agar tersalurkan lewat pemenuhan pengganti.

Karena fungsi kesadaran rasional amat menentukan untuk menimbang pemenuhan hasrat-hasrat manusia ini, para pemikir seperti Jurgen Habermas memasukkan unsur pokok adanya kepentingan atau interes dalam kesadaran rasional manakala mau mewujudkan hasrat tersebut.

Hasrat ingin tahu dan menjelajahi dunia demi informasi baru merupakan cognitive interest. Keinginan untuk berkomunikasi pada sesama manusia merupakan communicative interest. Pendorong demi perubahan yang lebih humanis dan menyejahterakan disebut transformative interest. Di titik inilah, orang-orang kadang melupakan pentingnya menemukan jembatan antara hasrat menggelora yang disebut nilai. Sebenarnya, ini juga sudah coba diatur kesadaran akal budi.

Pengaturan itu melalui pertimbangan kepentingan yang mau dipenuhi, yaitu wilayah yang secara kultural dinamai nilai. Ranah nilai adalah wilayah penghayatan hidup manusia dengan rasionalitas akal budi. Hal ini secara tulus dalam nurani mendasarkan pilihan pemenuhan hasrat dan kepentingan-kepentingan berdasarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang dihayati sebagai baik, benar, dan indah yang diserap oleh anak manusia yang sejak lahir belajar sampai mencapai life wisdom. Jadi, bukan hanya pandai secara kognitif, melainkan kebijaksanaan hidup yang semakin mencerdaskan agar makin beradab sebagai manusia. Pokok ini tidak asing di ranah kultural Nusantara. Contoh, di mana bumi dipijak, di situ hendaknya langit dijunjung.
Nilai yang berharga sebagai benar, baik, atau indah oleh seseorang atau komunitasnya dihayati dan diwujudkan dalam perilaku dan tindakan setiap hari. Ketika nilai dihayati dalam hidup, Rokeach (dalam The Nature of Human Values, 1973) menegaskannya sebagai keyakinan yang berharga. Maka dari itu, dia menjadi acuan hidup.

Di sinilah, konkretnya, manakala hasrat berkuasa muncul dengan kepentingannya menyeruak keluar, dia berhadapan dengan pertimbangan rasional dengan nilai-nilai dalam diri orang tersebut dan komunitasnya. Namun, muncul pertanyaan gugatan dalam hati: akan kulakukan dan kuwujudkan atau tidak? Karena hasrat berkuasa mendesak terus-menerus minta dipenuhi, lalu dibuat konsensus untuk mengatur dan mengerem melalui hukum. Yuridis diperlukan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan dan membagi ke dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Fakta sejarah peradaban hukum ini saja sudah merupakan bukti bahwa kehendak berkuasa (will to power) yang direduksi dalam kata politik tanpa kontrol nilai etisnya akan menghancurkan peradaban manusia seperti dilakukan Mussolini, Hitler, atau raja-raja lalim seperti Louis XIV di Prancis atau Amangkurat IV di Jawa.
Perang

Bila hasrat dalam kepentingan mau berkuasa terus-menerus perang tanding melawan nilai, di manakah jalan keluarnya? Pertama, dikemukakan Habermas dalam komunikasi terbuka untuk mencari titik temu berupa “kepentingan bersama” dengan menomorduakan kepentingan ego.

Ide Habermas menemui kebuntuan kritis lantaran berdasar pengalaman tidak ada yang rela membuka hasrat dan kepentingan tersembunyinya. Masyarakat Indonesia diingatkan mengenai ini lewat pepatah “ada udang di balik batu.” Maka, dalam debat terbuka, kepentingan versus nilai harus benar-benar jujur berani membuka kepentingan masing-masing, kemudian memilih komunikasi terbuka yang disepakati untuk diwujudkan. Pokok ini harus terwujud lebih dulu.

Lihatlah, diskusi tipu-tipu soal kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR hingga dini hari (31/3). Itu bisa dianalisis betapa hasrat kuasa, kelicikan, seolah memenuhi aspirasi rakyat yang sampai berdarah-darah dalam bentrok dengan polisi. Di sini, nilai tidak dipakai sama sekali. Rapat paripurna hanya seolah-olah demi nilai.

Di luar sidang, mahasiswa diperlakukan secara irasional, sedangkan buruh dianggap musuh yang harus dihajar di medan tempur bernama jalanan dan dibarikade kawat duri. Para demonstran diposisikan melawan polisi. Padahal, unjuk rasa adalah sebuah pengucapan pendapat tidak setuju (atau setuju). Istana sama sekali tidak membuka dialog, bahkan ditinggal pergi penghuninya. Yang tinggal hanya penjaga dan barikade kawat berduri.

Tidak ada jalan lain, selain membuka lagi kesadaran rasionalitas dalam mengontrol hasrat dan menaruh kepentingan komunikatif dan transformatif karena ini sudah diperjuangkan dengan keringat dan darah para pendiri bangsa. Kontrol hasrat memperkaya, keserakahan adalah lewat kepastian hukum yang berkeadilan. Kontrol lain lewat jalan demokrasi. Suara rakyat adalah suara kejujuran yang adalah suara Tuhan. Itulah vox populi vox dei. Di sini, setiap subjek anak negeri mesti benar-benar belajar menanggungjawabi hidup dengan nilai benar, baik, dan indah. Jadi, bukan dengan melempar tanggung jawab, saling mengambinghitamkan, apalagi lari dari tanggung jawab.

Mudji Sutrisno, SJ
Guru Besar STF Driyarkara dan UI

Sumber: Koran Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar