Kamis, 05 Mei 2011

Dalam Tualang Pasir

Taufan Hidayat

“Mereka bilang kita ini terdiri dari irisan-irisan yang berbilang banyak. Semua adalah bagian dari kita yang saling menyatu dalam diri kita,” kata Gelung, sembari memandang lekat wajah Ling.

“Ah, para Darwis itu memang pandai bertingkah selayak filsuf. Padahal mereka hanya sang pembual sejati yang berjubah sufi,” sahut Ling sinis.
“Tapi aku sedikit setuju dengan mereka,” ucap Gelung lirih.

“Apa yang mereka perbuat denganmu, mengapa sekarang kau memercayai mereka?,” tandas Ling, dengan mata tajam yang kian menyudutkan Gelung.

Dengan wajah menunduk, bibir dan kelulit pipi memucat, beserta debu pasir yang beterbangan bersama angin barat. Berkatalah Gelung, juga seolah berbisik sebab suaranya lirih dan gamang. “Ah, tidak! Mereka sedikit benar, tapi juga sedikit salah… jadi…”.

“Hay, apa maksudmu? Jangan bertela-tele dan cengeng. Atau kau ingin menjadi kawanan mereka yang berbalik dengan pengkhianatan yang mengalung di leher-leher mereka?” bentak Ling, dengan wajah memerah bara beraurakan marah. Sebab teman satu-satunya di tualang pasir ini mulai menyemerbakan aroma pengkhianatan.

Gelung memberanikan diri mengangkat wajah dan berbalik membalas tatapan Ling. “Ling, tahukah kau akan sesuatu dalam dirimu? Dalam dasar dirimu itu berhuni sang penguasa atas dirimu. Penguasan itu adalah kau yang ego, kau yang rakus, kau yang berbirahi, kau yang serakah. Kesemuanya terbingkai oleh nafsu dalam dirimu. Sedang jiwa suci yang Tuhan berbisik padamu engkau belenggu. Lantas kau tenggelamkan dalam ngarai gelap tak bercahaya yang engkaupun gamang berdiri di atasnya. Itulah kau sahabatku!”.

Mata Ling terbeliak hilang kejap. Bibir memati beserta lidah yang hilang kata. Mematung selayak bebatuan tebing yang hilang asa. Ling belum sempat berbalik menyerang Gelung dengan tetuah yang begitu menusuk jantung Ling. Namun Gelung kembali menghujam Ling dengan tetuah yang selama ini Ling nafikan.
“Lihatlah ujung timur, ujung barat, ujung selatan juga utara!” tandas Gelung sembari menunjuk bergantian ke empat penjuru mata angin. Yang kesemuanya adalah hamparan padang pasir tiada tepi. Hanyalah fatamorgana bening yang menyala-nyala di atas pasir yang membatasi pandang mereka. “Sekali lagi lihat! Sadarkah kau bahwa kita ini tersesat. Sedang peta dan kompas tak kita miliki! Beritahu aku jalan menuju pulang dan keluar dari padang pasir panas membakar ini jika kau benar!”.
Ling tetap membisu, sedang pandangan beserta wajahnya telah menunduk berkalang tanah. Membumi yang paling membumi, itu wajah di dirinya.

“Ya, pastilah kau tiada mampu menjawab. Sebab egomu terpecundangi. Sahabatku, aku masihlah Gelung yang paling engkau kenal, yang juga sahabatmu. Hanya saja telah kutemukan jiwa mata hatiku. Intuisiku yang dengan inilah Tuhan berbicara padaku” kata Gelung dengan jemari yang meraih pergelangan tangan Ling.

“Ah, tenang saja. Aku akan selalu berada di sampingmu. Sebab kutahu pasti kau ini selalu butuh persekawanan. Sedang kini hanya akulah satu-satunya persekawananmu yang tersisa,” ucap Gelung sembari beranjak mendekati Ling. Setelahnya tubuh mematung Ling Gelung raih, untuk kemudian berpeluk. Jubah lebar tebal Gelung ia bentangkan, dan menutup melindungi tubuh-tubuh mereka yang menyatu dalam peluk.
Sedang dari ufuk barat. Badai mengamuk kian mendekat hendak melahap dua tubuh manusia kecil di tengah gurun tak bertepi. Selayak ombak bergulun meninggi pelahap kapal badai itu. Liukan dan gulungan angin yang berjubahkan debu pasir itu seperti lonceng hari akhir, yang menggema dan gemuruhnya membisingkan telinga.
Sedang mereka yang masih menyatu berpeluk, begitu tenang menghadapi terjangan badai.
Bersambung…………………..


Di ambil dari salah satu adikarya Maulana Rumi, tokoh sufi, sang pecinta Tuhan melegenda.

Saat ini aku berada dalam sebuah keadaan,
Di mana aku tak bisa membedakan muatan dari keledai.
Aku berada dalam keadaan hari ini,
Di mana aku tak tahu mana duri dan mana mawar
Cintaku membawaku pada keadaan ini saat ini.
Aku tak tahu siapa Pecinta
Atau siapa yang dicinta.
Kemarin, kemabukan mengantarkanku ke pintu cinta
Tetapi sekarang tak kutemukan pintu atau rumah itu.
Tahun lalu aku punya dua sayap.
Kecemasan dan harapan.
Sekarang, aku tak tahu sayap-sayap itu,
Tak tahu bagaimana caranya terbang.
Tak tahu kecemasan-kecemasan yang telah hilang.

0 komentar:

Posting Komentar