Senin, 01 Agustus 2011

Esensi Pendidikan yang Keliru

Anggih Hidayatulloh*
       
       Pendidikan merupakan bagian terpenting yang mendukung keutuhan dan kekokohan suatu bangsa. Dengan pendidikan bangsa mampu menciptakan kader-kader militan yang nantinya mampu menjadi bantalan vital dalam memajukan bangsa ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, tanpa pendidikan bangsa akan lemah, tebelakang dan kemungkinan akan menjadi objek penindasan oleh bangsa lain. 

            Mengingat betapa pentingnya peran pendidikan, sudahkah sistem pendidikan di negara kita ini berjalan dengan baik ?  Melihat realitas yang terjadi hal tersebut belum dapat dikatakan baik. Ada banyak masalah yang sering kita jumpai. Berangkat dari substansi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah  membebaskan manusia dan menurut Drikarya pendidikan adalah memanusiakan manusia. 

           Dapat ditarik kesimpulan bahwa esensi dari pendidikan itu sendiri adalah untuk membebaskan manusia dari kebodohan atau kejahilan dan membantu manusia agar tidak kehilangan hakikat kemanusiaanya. Karena pada hakikatnya setiap individu manusia telah memiliki potensi-potensi yang luar biasa dalam dirinya sejak manusia itu dilahirkan.

          Jika potensi yang telah ada tersebut tidak dilatih dan dikembangkan melalui proses pendidikan niscaya nantinya hanya akan sekedar menjadi potensi belaka yang tidak memiliki nilai tambah. Kongkritnya bagaimana pendidikan mampu menciptakan output yang tidak hanya memiliki kecakapan dalam ilmu dan teknologi namun juga memiliki moral, karakter dan kecakapan sosial yang unggul. Bagaimana output pendidikan nantinya mampu mengaktualisasikan diri sebagai makhluk individu maupun sosial.

     Masalah yang terjadi adalah adanya penyimpangan atau kekeliruan dari esensi pendidikan yang sesungguhnya. Ungkapan yang juga sering kita dengar adalah bahwa lembaga pendidikan sebagai wahana yang mencetak kaum-kaum pemikir.

Namun fakta yang terjadi sekarang pendidikan lebih mengarah pada mencetak kaum-kaum pekerja atau buruh. Bukan lagi pemikir handal yang kritis dan transformatif. Peserta didik hanya dijejali ilmu-ilmu yang ditransfer dari sang pendidik tanpa mencoba berpikir lebih jauh dari apa yang diterimanya.

Hal tersebut sangat kontras dengan konstruksi pendidikan yang dinyatakan oleh tokoh pendidikan dunia Paulo Freire. Menurutnya dalam proses pendidikan seharusnya guru sebagai fasilitator dan anak didik sebagai subjek. Yang pada akhirnya nanti peserta didik diharapkan menjadi pribadi yang mandiri, kritis dan transformatif.  

Masalah lain terjadi dikalangan mahasiswa. Mahasiswa adalah siswa yang sedang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa adalah agen of change. Mahasiswa adalah social control dan moral control. Ungkapan-ungkapan tersebut sering kita dengar sebagai pilar mahasiswa yang dilontarkan untuk kalangan mahasiswa itu sendiri.  

Mahasiswa sekarang banyak yang melenceng dari tugasnya sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan kontrol moral. Mahasiswa saat ini cenderung bersifat apatis dan pragmatis. Mereka senang melakukan kegiatan yang cenderung foya-foya yang membuat mereka senang namun lupa akan tugas kuliahnya. 

Melihat fakta pendidikan di atas sudah seharusnya ada tindakan nyata dan tepat dari pemerintah. Kebijakan pemerintah yang tepat niscaya  mampu merubah nasib bangsa ini. Tidak hanya itu, sebagai mahasiswa kita harus turut andil membantu pemerintah dalam memajukan bangsa Indonesia ini.

Yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita menumbuhkan kesadaran sebagai agen perubahan  serta mengembangkan sumber daya kita masing-masing. Berawal dari sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter sesuai dengan bangsa kita ini niscaya menjadi langkah awal bangsa kita perlahan maju, maju dan maju.
*( Ketua Departemen Kerohanian Rayon Siti Nafisah PMII Komisariat Dukuhwaluh)
  
  

0 komentar:

Posting Komentar