Rabu, 03 Agustus 2011

Dalam Tualang Pasir ( Edisi 2 )

Taufan Hidayat*


Matahari bersinar tidaklah wajar. Panas baranya selayak mesin pemanggang pembunuh segala mahluk. Cahayanya yang putih bercampur kuning keemasan mengusung pedang fana yang memupus segala asa. Di tengah pasir yang tak miliki tepi ini adalah gerbang neraka. Bahkan mahluk yang sengaja Tuhan cipta untuk berjalan di atas pasir kering, pastilah berputus asa menginjakan telapak kakinya. 

Sesekali angin bertiup membawakan debu yang kan memedihkan selaput mata, menusuk hidung hingga menjalar menjelma kanker dalam paru-paru. Fatamorgana bening yang selayak hamparan danau menyala-nyala, mengisi tepian pandang yang dilihat mata. Juga seolah kawanan ruh yang berlenggang menari. 

Tak ada mahluk satupun yang singgah di hamparan padang pasir terpanas ini. Tidak juga rumput, juga tidak kadal berkulit sisik sewarna dengan pasir. Dan elangpun tiada berani mengepak sayap di angkasa padang pasir ini. Hanya jenis mahluk terbodoh yang singgah ke tempat ini. Jenis mahluk bersel satu yang hanya miliki mulut dan anus di sekujur tubuhnya. 

 Tapi kali ini ada dua manusia yang terperangkap di tengah panasnya ruang ini. Bersembunyi di balik bongkahan batu usang oleh masa yang melindung tubuh mereka dari sengat matahari. Mereka saling memejam mata, terkadang membuka kelopak mata dengan berat. Antara sadar dan hilang sadar. Keduanya meringkuk dengan begitu menyedihkan.

Kulit bibir mereka pecah kering selayak lumpur pesawahan yang kering mati setelah kemarau menahun. Pori kulit mereka kehilangan cara dalam berkeringat. Sebab setetes airpun tak membasah lidah dan tenggorokan mereka. Hingga tubuh mengalami kenihilan dalam metabolisme cairan. 

Dan mereka adalah Gelung dan Ling. Sisa kawanan pemberontak kehidupan yang mulai menemu sesal disebabkan takluk oleh ganasnya alam. Di mata dan bibir Gelung masih menyisakan sabar. Sedang di mimik Ling hanyalah didapati sesal yang teramat dalam. Bibirnya bergetar dengan rahang yang menekan menegang hingga gerahamnya saling tekan. Seperti hendak bercelotah sumpah serapah hujatan betapa jahanamnya hidup ini. Namun tak miliki tenaga untuk hal ini. Hanya mendekam dan membuat sesak jiwanya saja. 

“Lihat, ada gerombolan manusia berkendara onta mendekat!” sahut Gelung dengan suara parau. Ling tetap memejam mata, hanya membalas dengan sepatah kata; “Bodoh!”

“Aku kecewa menuruti keinginanmu...” kata Ling dengan suara yang begitu lirih. Selirih angin berhembus yang mengusung bituran halus debu pasir. 

“Tenang saja, kita akan selamat. Mereka akan menyelamatkan kita.”
“Diam, cukup, berhenti membuatku semakin kesal padamu,” tandas Ling, yang kali ini miliki tenaga untuk sedikit berteriak. 

“Siapa mereka? Apa kau masih miliki tenaga untuk berteriak dan memanggil mereka?” sahut Gelung.
Ling hanya diam. Mendengar ini justru kelopak mata Ling kian merapat. Seolah hendak menutup rapat-rapat mata dan telinga. Untuk bisa lepas dari mainan kebohongan yang dilakukan Gelung. 

Beberapa saat lamanya Ling memejam mata dan mengunci pendengarannya. Lantas Ling membuka mata. Lalu terkejut, hingga terbangun dengan tertatih. Sebab dilihatnya Gelung yang berjalan merangkak dengan perut terseret di atas pasir. Gelung berjalan dengan perlahan seperti siput. Karena lama Ling mematikan pandang dan pendengarannya. Gelung telah merangkak meninggalkan Ling dengan jarak beberapa puluh meter. Sedang lebih jauh lagi dari Gelung yang berjalan merangkak, nampaklah beberapa kawanan manusia berjubah rapat, dengan sabuk yang berisi sarung pedang dan anak panah. Mereka seperti yang diceritakan Gelung, kesemuanya berkendara onta.

Gelung tak lagi bergerak. Ia telah kehilangan kesadarannya. Tubuhnya tengkurap hilang gerak di atas pasir. Kawanan berkendara onta itu turun, lalu mamapah dan mengusung tubuh lemas Gelung ke punggung onta. Namun Ling berfikir kawanan ini adalah salah satu antek pasukan yang dikirim untuk meringkus dirinya dan Gelung. Dengan sisa tenaga Ling berusaha sekuat tenaga untuk menggerakan kaki-kakinya. Untuk melarikan diri dari kawanan berkendara onta itu.

Ling berjalan cepat dengan tertatih. Tak lama kawanan berkendara onta menyusul. Dan tiba-tiba seperti kilat. Salah satu kaki pengendara menendang dengan kuat ke leher belakang Ling. Ling jatuh tersungkur dan kehilangan kesadarannya. Dan semua menjadi gelap. Seperti gelapnya dalam pejaman mata di malam tak berbulan dan tak berbintang. 
 *( Ketua Bidang Eksternal PMII Komisariat Dukuhwaluh)

0 komentar:

Posting Komentar