Minggu, 02 Oktober 2011

SOE HOK GIE; FIGUR MAHASISWA IDEALIS

 Agus Prasetyo*

Lebih baik di asingkan dari pada menyerah pada kemunafikan
itulah sepenggal kalimat yang pernah terlontarkan oleh seorang pemuda yang mempunyai kesenangan memanjat gunung, dari sepenggal kalimat tersebut bagaimana disitu menggambarkan sosok pemuda pergerakan yang mempunyai idealisme begitu tinggi yang tidak bisa ditukar oleh apapun.

Dialah  Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit, seorang novelis dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.inilah salah satu mengapa soe hok gie dalam hal pola pikir dan pengetahuanya berbeda di bandingkan dengan anak usia sebayanya.

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil oleh gurunya karena menurut dia mata pelajaran yang mendapatkan nilai jelek dia merasa bisa. Ini akibat dia sering mengkritik gurunya pada waktu itu pikirnya? Dan sampai akhirnya dia pun mengungkapkan sebuah kalimat dalam catatan hariannya

yang berbunyi “ Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau yang setiap saat harus mengikuti apa perkata guru walaupun jelas itu salah”.

Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih  lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga tanpa mengulang, selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam,di samping karena di dalam tubuhnya sudah mengalir darah penulis oleh garis keturunan ayahnya, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada yang tak terduga selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie  berhasil lulus dengan nilai tinggi. Yang kemudian dia bisa melanjutkan keUniversitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.
Gie sapaan akrabnya sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisi dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

    Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung bersama teman-temanya, ada alasan kenapa gie menyukai alam bebas menurutnya untuk bisa mencintai seseorang harus terlebih dahulu mengenal objeknya demikian pula untuk bisa mencintai Indonesia harus memahami apa itu Indonesia, Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung itu kata gie.

    Pemikiran yang tidak mudah kita temukan pada zaman sekarang bagaimana gie pangilan akbrabnya dulu bagaimana  begitu bisa untuk menyikapi keadaan yang ada ketika itu,  dan tidak mudah untuk terbawa arus oleh sebagian kelompok yang hanya mementingkan golongnya atau kelompoknya sendiri yang mengatasnamakan perjuangan untuk rakyat. beliau mengajarkan kita bahwa seorang manusia harus pandai menyikapi tentangsuatu keadaan dan mampu memberikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.
Soe Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Soe hok gie agaknya orang yang paling berbahagia sesuai dengan catatan yang pernah ia buat,
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.

*( Ketua Rayon Siti Nafisah PMII Komisariat Dukuhwaluh / 
Mahasiswa FKIP, Prodi Sejarah Smt. V )

0 komentar:

Posting Komentar