Abdul Moqsith Ghazali
Tidak banyak manfaatnya memaksa seseorang
memeluk suatu agama, kalau tidak diikuti kepercayaan dan keyakinan dari
orang tersebut. Agama yang dipaksakan, menurut Jawdat Sa’id, sama dengan
cinta yang dipaksakan. “Tidak ada agama dengan paksaan, sebagaimana
tidak ada cinta dengan paksaan”. Memeluk suatu agama sejatinya harus
diikuti dengan keyakinan yang mendalam terhadap ajaran yang ditetapkan
agama itu. Bahkan, setiap orang punya hak memilih antara beragama atau
tidak beragama. Nabi pernah menawari salah seorang budak perempuannya,
Rayhanah binti Zaid, untuk masuk Islam. Namun, Rayhanah lebih memilih
Yahudi sebagai agamanya. Nabi tak marah pada Rayhanah hingga akhirnya ia
sendiri yang memutuskan masuk Islam. Ini sebuah teladan. Sebagai
majikan pun Nabi tak memaksa budaknya mengikuti agama yang dianutnya.
Toleransi dan kebebasan beragama selalu disandarkan pada ayat la
ikraha fi al-Din. Persisnya Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2] : 256),
“Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda)
kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada
tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan
Mengetahui” (la ikraha fi al-din qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy fa
man yakfur bi al-thaghut wa yu’min billah fa qad istamsaka bi al-’urwah
al-utsaqa la infishama laha. Wallahu sami’un ’alim).
Abu Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi dala bukunya, Marah Labidz menegaskan bahwa ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tak dibenarkan. Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jins”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini juga dikemukakan dengan lafzh ’am (kata yang umum). Dalalah lafzh ’am, menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah qath’i (jelas-tegas) sehingga tak mungkin ditakhshish (dibatasi pengertiannya) apalagi dinaskh (dibatalkan) dengan dalil yang zhanni (tidak jelas maknanya).
Abu Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi dala bukunya, Marah Labidz menegaskan bahwa ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tak dibenarkan. Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jins”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini juga dikemukakan dengan lafzh ’am (kata yang umum). Dalalah lafzh ’am, menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah qath’i (jelas-tegas) sehingga tak mungkin ditakhshish (dibatasi pengertiannya) apalagi dinaskh (dibatalkan) dengan dalil yang zhanni (tidak jelas maknanya).
Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap
jaminan kebebasan beragama. Jawdat Sa’id dalam bukunya yang berjudul La
Ikraha fi al-Din menyebut la ikraha fî al-din, qad tabayyana al-rusyd
min al-ghayy sebagai ayah kabirah jiddan (ayat universal). Apalagi,
menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang
dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi
mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat tersebut mengandung
penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak
kebebasan beragama.
Dalam menafsirkan ayat ini, Jawdat Sa’id menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghayy dan ini adalah
jalan salah (al-thariq al-khathi’). Sedang yang dimaksud dengan tanpa
paksaan (alla ikrah) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar
(al-thariq al-shahih). Pengertian ayat itu adalah “tidak ada paksaan
dalam agama. Sungguh sudah jelas (perbedaan) antara tanpa paksaan dan
pemaksaan”. Berbeda dengan kebanyakan para mufasir, Jawdat Sa’id
menafsir kata “thaghut” dalam lanjutan ayat itu sebagai orang yang
memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh
orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Perihal ayat tersebut, Jawdat Sa’id mengemukakan pandangannya.
Pertama, ayat itu memberi jaminan kepada orang lain untuk tidak
mendapatkan paksaan dari seseorang. Ayat itu juga memberi jaminan agar
seseorang tak dipaksa orang lain tentang sesuatu hal, termasuk dalam hal
agama. Kedua, ayat itu bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam
insya’i) dan sebagai kalimat informatif (kalam ikhbari). Sebagai kalimat
perintah, ia menyuruh seseorang untuk tak melakukan pemaksaan kepada
orang lain. Sebagai kalam ikhbari, ayat itu memberitahukan bahwa
seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak,
maka orang itu tak bisa dikatakan telah memeluk agama itu. Ini karena
agama ada di dalam kemantapan hati, bukan dalam ungkapan lisan. Ketiga,
ayat ini melarang membunuh orang pindah agama, karena ayat itu turun
untuk melarang pemaksaan dalam soal agama.
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang melatarbelakangi
turunnya ayat tersebut. Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
menjelaskan riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Pertama,
Sulaiman ibn Musa menyatakan, ayat ini dinasakh dengan ayat lain yang
membolehkan umat Islam membunuh umat agama lain. Ia menambahkan, Nabi
Muhammad telah memaksa dan memerangi orang-orang non-Muslim yang tinggal
di Arab untuk memeluk Islam. Ibn Katsir mengutip pandangan sekelompok
ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut sudah dinasakh ayat perang
(ayat al-qital). Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru masuk
agama Islam. Sekiranya mereka tidak mau masuk Islam dan tak mau membayar
retribusi (jizyah), mereka wajib diperangi. Ibn Katsîr dalam Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim berkata, ayat tersebut merupakan perintah agar umat
Islam tak memaksa orang lain masuk Islam. Sementara Thabathaba’i dalam
al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an berpendapat, ayat itu tak mungkin dinaskh
tanpa menaskh alasan hukumnya (illah al-hukm). Illat hukum itu tertera
secara eksplisit dalam kalimat berikutnya yang menyatakan, antara
al-rusyd (kebenaran) dan al-ghayy (kesesatan) sudah jelas.
Kedua, ayat tersebut tak dinaskh. Tapi, ia turun secara khusus kepada
Ahli Kitab. Mereka tak bisa dipaksa masuk Islam selama masih membayar
retribusi (jizyah). Pendapat ini dikemukakan al-Sya`bi, Qatadah,
al-Hasan, dan al-Dhahhak. Para ulama tersebut memperkuat argumennya
dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari bapaknya. Ia mendengar Umar ibn
Khattab berbincang dengan seorang perempuan tua beragama Kristen. “Masuk
Islamlah, wahai perempuan tua, niscaya engkau akan selamat, karena
Allah mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran. Lalu perempuan itu
berkata, saya sudah tua renta dan sebentar lagi kematian akan
menjemput. Umar berkata, Wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan ini.
Umar kemudian membaca ayat tadi.
Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut
sebagai berikut. Pertama, diriwayatkan Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Hibban,
Ibn Jarir dari Ibn Abbas. Alkisah, ada seorang perempuan tidak punya
anak. Ia berjanji pada dirinya bahwa sekiranya ia mempunyai anak, maka
anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tak akan membiarkan anaknya
memeluk agama selain Yahudi. Dengan latar itu, ayat ini turun sebagai
bentuk penolakan terhadap adanya pemaksaan dalam agama.
Kedua, ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshar, Abu
Hushain. Dikisahkan, Abu Hushain adalah seorang Muslim yang memiliki
dua anak Kristen. Ia mengadu kepada Nabi, apakah dirinya boleh memaksa
dua anaknya masuk Islam, sementara anaknya cenderung kepada Kristen. Ia
menegaskan kepada Nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk
neraka. Dengan kejadian tersebut, turun firman Allah tadi yang melarang
pemaksaan dalam urusan agama.
Dengan mengetahui sabab al-nuzûl tersebut, jelas bahwa pemaksaan
dalam agama tak dibenarkan. Ibrahim al-Hafnawi menegaskan bahwa
kebebasan beragama merupakan prinsip dasar ajaran Islam, sehingga tak
ditemukan satu ayat pun dalam al-Qur’an atau sebuah hadits yang
bertentangan dengan prinsip dasar ajaran ini. Pendapat senada
dikemukakan Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Karena
keimanan merupakan pondasi agama yang esensinya adalah ketundukan diri,
maka—menurut Ridla—ia tak bisa dijalankan dengan pemaksaan. Dengan ini
bisa dikatakan, beriman bukan merupakan keharusan atau kewajiban
sehingga perlu dipaksakan dari luar. Beriman merupakan pilihan,
kesadaran dan ketundukan subyektif manusia atas ajaran-ajaran Allah.
Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun,
dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain
berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi
(qadliyah syahshiyyah) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada
paksaan. Jamal al-Banna dalam Hurriyah al-Fikr wa al-I’tiqad fi al-Islam
menegaskan, Nabi hanya sekadar penyampai pesan. Dia tak punya
kewenangan untuk memaksa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Ghasyiyah
[88]: 21-22) “maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah
orang yang memberi peringatan. Kamu bukan orang yang berkuasa atas
mereka”. Di ayat lain Allah berfirman (QS, Yunus [10]: 99), ”Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu akan beriman semua orang yang ada di bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang beriman semuanya? Tak seorang pun akan beriman
kecuali dengan ijin Allah”.
Abdul Karim Soroush membuat sebuah ilustrasi. Bahwa sebagaimana
seseorang menghadapi kematian secara sendirian, maka ia pun memeluk
agama secara individual. Setiap umat beragama memang melakukan aksi dan
ritus komunal, tetapi bukan keimanan komunal. Jika ekspresi iman
bersifat publik, maka esensi iman bersifat gaib dan privat. Bagi
Soroush, wilayah iman seperti arena akhirat yang di dalamnya setiap
orang dinilai satu-satu. Disebutkan, “Tiap-tiap mereka akan datang
kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. Allah berfirman
dalam al-Qur’an (Maryam [19]: 95) “wa kulluhum atihi yawm al-qiyamah
farda”.
Tidak banyak manfaatnya memaksa seseorang memeluk suatu agama, kalau
tidak diikuti kepercayaan dan keyakinan dari orang tersebut. Agama yang
dipaksakan, menurut Jawdat Sa’id, sama dengan cinta yang dipaksakan.
“Tidak ada agama dengan paksaan, sebagaimana tidak ada cinta dengan
paksaan”. Memeluk suatu agama sejatinya harus diikuti dengan keyakinan
yang mendalam terhadap ajaran yang ditetapkan agama itu. Bahkan, setiap
orang punya hak memilih antara beragama atau tidak beragama. Nabi pernah
menawari salah seorang budak perempuannya, Rayhanah binti Zaid, untuk
masuk Islam. Namun, Rayhanah lebih memilih Yahudi sebagai agamanya. Nabi
tak marah pada Rayhanah hingga akhirnya ia sendiri yang memutuskan
masuk Islam. Ini sebuah teladan. Sebagai majikan pun Nabi tak memaksa
budaknya mengikuti agama yang dianutnya.
Tidak dibolehkannya melakukan pemaksaan dalam agama ini bisa
dimaklumi, karena Allah memposisikan manusia sebagai makhluk berakal.
Dengan akalnya manusia bisa memilih agama yang terbaik buat dirinya.
Allah berfirman (QS, al-Kahfi [18]: 29), “Katakanlah: “kebenaran datang
dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang beriman, silahkan, dan barangsiapa
yang ingin kafir, biarlah kafir. Ini berarti, manusia tak memiliki
kewenangan menilai dan mengintervensi keimanan seseorang. Tuhan yang
berhak menilai benar dan tidaknya keyakinan. Itu pun dilakukan di
akhirat kelak. Allah berfirman (QS, al-Sajdah [32]: 25) “sesungguhnya
Tuhanmu yang akan memberikan vonis terhadap perselisihan yang terjadi di
antara mereka, nanti pada hari kiamat. Karena keimanan berpangkal pada
keyakinan yang terpatri dalam hati, maka yang mengetahui hakekat
keberimanan seseorang hanya Allah. Beriman adalah tindakan soliter. Iman
merupakan bagian dari komitmen pribadi.
Meminjam terminologi ushul fikih, persoalan beriman dan tidak beriman
merupakan haq Allah (hak Allah). Artinya, beriman dan tidak beriman
merupakan urusan manusia secara individual dengan Tuhannya, Allah.
Pilihan iman atau kufr merupakan tindakan privat-individual. Adalah hak
setiap orang untuk kufr atau iman. Sebab, keimanan dan kekufuran tidak
dipertanggungjawabkan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Tanggung
jawab berada di tangan yang bersangkutan dalam hubungannya dengan Allah.
Seseorang tak akan dimintai pertanggungan jawab atas dosa orang lain.
Demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (Saba’
[34]: 25), ”katakanlah, kalian tak akan diminta mempertanggungjawabkan
dosa-dosa kami. Kami pun tak akan mempertanggung jawabkan
perbuatan-perbuatan kalian”.[]
Dikutip dari www.islamlib.com
0 komentar:
Posting Komentar