Selasa, 15 Maret 2011

Memanifestasi Aswaja Menjadi Etika

Aswajaethic secara istilah saya pahami merupakan integrasi dari dua kata ‘aswaja’ dan ‘etika’. Sebagai sebuah variabel, dua kata ini masing-masing memiliki karakter yang sama-sama kuat. Etika dalam filsafat bahkan ditempatkan secara terhormat sebagai disiplin ilmu tersendiri.

Aswaja yang merupakan penyingkatan dari ahlussunnah wal-jamaah, di NU dipahami sebagai ajaran baku yang materinya bersumber dari empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dari keempat tokoh ini diambillah sari-sari keilmuan praktis terutama menyangkut akidah, syari’ah dan akhlak.

Di PMII, aswaja direkonstruksi menjadi cara pandang baru yang sedikit lebih maju. Konsep doktrin klasik yang dianggap mengadopsi dan menggunakan sumber ajaran secara mentah-mentah, dinilai kurang tepat. PMII yang kemudian kerap mendapat sebutan anak nakal NU, lantas menyusun rumusan baru aswaja sebagai manhaj al-fikr. Yang membedakan, kalau di NU aswaja merupakan paket yang secara terstruktur dengan penuh kehati-hatian digunakan sebagai rujukan, di PMII, aswaja lebih dikeluarkan lagi, dibongkar, dan diambil sisi metodologisnya.

Lalu mengenai etika, sebenarnya posisinya lebih universal. Etika dalam arti yang sebenarya adalah filsafat mengenai bidang moral. Meminjam bahasa Romo Magnis, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.

Dalam konteks aswajaethic ini, etika dimaknai sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh kader PMII sebagai bagian dari entitas masyarakat, untuk mengetahui bagaimana seseorang seharusnya menjalankan kehidupannya. Jadi kalau Romo Magnis memiliki thesis mengenai etika Jawa, sebuah analisa falsafi mengenai kebijaksanaan hidup masyarakat Jawa, maka aswajaethic adalah etika PMII, suatu garis falsafi mengenai kebijaksanaan hidup para kader PMII.

Apa saja yang harus masuk menjadi etika PMII? Isinya tentu saja mencakup semua nilai yang secara metodologis berhasil diangkat, disarikan dari doktrin aswaja oleh PMII. Sebagaimana terdokumentasi dalam buku besar PMII, maka etika PMII seharusnya merupakan institusionalisasi dari manhaj al-fikr PMII yang mencakup prinsip Tawasuth (moderat), Tasammuh (toleransi), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan).

Dengan menginstitusionalisasi cara pandang, metodologi, menjadi sebuah etika, saya menggambarkan paripurnanya adalah sebuah integrasi yang kokoh antara sikap, pendapat, dan tindakan. Disini, etika berbicara sesuatu secara universal. Karenanya, integrasi antara sikap, pendapat, dan tindakan yang harus dikenalkan bukan hanya dalam konsep kehidupan beragama, tetapi juga dalam kehidupan berpolitik, berorganisasi, dan bernegara.

Dalam teori kepemimpinan, kita sering menyebut satunya sikap dan tindakan. Secara pencapaian memang sama. Tetapi prosesnya sedikit berbeda. Dalam praktik kepemimpinan, satunya sikap dan tindakan bisa diasah melalui pelatihan-pelatihan. Sementara, pada konteks ini aswajaethic merupakan proses perjalanan keilmuan dari ajaran menjadi doktrin paradigmatik, dan kemudian melahirkan ruh pergerakan baru berupa disiplin kesadaran. Integrasi antara pernyataan sikap dan tindakan yang tumbuh dari disiplin kesadaran, pondasinya tentu jauh lebih mapan. Dalam hal ini sebagai harapannya, sistematika sikap keberagamaan maupun politik kewarganegaraan seorang kader PMII tentu dapat lebih mendekati aras kebijaksanaan. Bukan lagi sekedar sikap yang disistematika ‘tengah-tengah’ antara yang tatharruf (ekstrim) baik kiri maupun kanan.

Tantangan Relativitas

Mengukuhkan manhaj al-fikr aswaja sebagai aswajaethic secara epistemologis akan lebih membebaskan proses-proses ijtihad PMII. Sekat-sekat ajaran dan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai konsep tengah yang gamang dengan sendirinya bisa disudahi. Demikian juga dengan pemahaman konsep ideologi yang kerap disalah mengerti.

Sebagai sebuah disiplin kesadaran, aswajaethic sesungguhnya senada dengan thesis Kohlberg tentang tahapan puncak perkembangan kesadaran moral universal yang dianggapnya berlaku dalam semua kebudayaan. Tahapan perkembangan kesadaran yang dimaksud bersifat praktis-normatif dalam pengertian tidak begitu saja mengikuti perkembangan keadaan ekonomi dan sosial masyarakat, melainkan mengikuti logikanya sendiri.

Aswajaethic berbicara disana pada saat seorang kader PMII atau siapapun yang setuju dengan prinsip Tawasuth (moderat), Tasammuh (toleransi), Tawazun (keseimbangan), dan Ta’adul (keadilan), bertindak menurut prinsip-prinsip etis universal sebagaimana dikumandangkan oleh suara hatinya. Kedisiplinan ini hadir pada saat mereka memberikan sikap hormat terhadap hak setiap manusia, entah itu jenis manusia dari kelompok mereka sendiri atau tidak.

Namun apapun, seperti saya kemukakan di awal, aswajethic kenyataannya barulah sebuah ikhtiar. Sebuah ijtihad kolektif kader PMII DKI Jakarta untuk mencoba me-repositioning aswaja sebagai landasan ideal berjuang. Tantangan terberatnya sekarang adalah; mampukah aswajaethic mempublik dan membumi di kalangan kader pergerakan? Sebagai bagian dari tata nilai yang direproduksi menjadi etika universal, seberapa besar tingkat singgungannnya di luar? Tidakkah akan resisten di lingkungan kultur yang berbeda?

Berbagai pertanyaan ini tentu harus menjadi bahan perenungan bersama mengingat di pihak lain, konsep kebenaran relativisme kultural memiliki pendapat bertolak belakang. Pendapat mereka adalah bahwa prinsip-prinsip moral dari individu-individu atau kelompok-kelompok berbeda sering kali berbeda dan bertentangan secara fundamental.

Dikutip dari www.nu.or.id
Ditulis oleh Didik Suyuthi, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pemikiran PB PMII 2008 - 2010

0 komentar:

Posting Komentar