(Oleh: Fajar, Wakil
ketua bidang kaderisasi dan kajian keilmuan)
Gelak tawa dan debaran dada silih berganti mengiringi acara diskusi film yang diselenggarakan PMII
Komisariat Dukuhwaluh dan Rayon Siti Nafisah malam ini (7/3). Film Soedirman yang disajikan
sebagai bahan diskusi benar-benar menguras emosi para peserta. Berbagai adegan
memaksa peserta menahan nafas. Misalnya saat Karsani, salah satu pemeran
tentara rakyat, ditodong senjata dari berbagai penjuru. Karsani dipaksa
menunjukkan persembunyian Jendral Soedirman. Ia menolak sehingga tanpa ampun peluru-peluru
penjajah menghujami dada dan kepalanya. Namun tak jarang guyonan khas dan
berbagai tingkah konyol tentara rakyat, yang umumnya tak berpendidikan militer,
mengocok perut para peserta. Sungguh perpaduan yang apik.
Selesai film diputar, dilanjutkan
dengan sesi diskusi. Berbagai pandangan dan pernyataan muncul dari para peserta
yang didominasi calon anggota PMII. Benar saja, film yang diputar membuat
semangat mereka meledak-ledak. Banyak nilai-nilai yang terkandung dalam film
Soedirman yang menggugah heroisme nalar peserta. Beberapa peserta mengaitkan
perjuangan Soedirman dengan konteks kehidupan sekarang. Salah satunya adalah
tentang semangat dan optimisme Jendral Soedirman yang menurut Aras—salah seorang
peserta—relevan diterapkan bahkan di zaman pasca perang seperti saat ini. Menurutnya
perjuangan adalah tentang semangat dan optimisme.
Pendapat senada di sampaikan
oleh Laila, mahasiswa fakultas pendidikan ini melihat bahwa dunia pendidikan
harus meneladani semangat perjuangan Soedirman. Idenya adalah bahwa sebagai
calon pendidik kita harus berperang melawan kemrosotan moral bangsa. Baginya
persoalan dekadensi moral adalah sesuatu yang harus diperangi. Ada juga
yang jeli melihat peran agama dalam perjuangan Soedirman. “ Yang membedakan
perjuangan orang islam dan non islam adalah do’a” begitu ujar Hasan, Mahasiswa
IAIN Purwokerto ini menyimpulkan. Di beberapa adegan dalam film itu memang menampilkan
ritual agama (Islam). Bahkan ada adegan di mana Soedirman dikepung oleh
Belanda, dan dengan tenang Sang Jenderal Besar ini mengajak tentaranya menyaru
menjadi warga yang sedang Tahlilan. Soedirman beserta tentaranya pun lolos.
Dalam keseluruhan film tersebut
jelas sekali tersirat pesan bahwa kemerdekaan kita diperoleh berkat perjuangan
pahlawan yang begitu heterogen. Masing masing tokoh mengambil peran sesuai
posisinya masing-masing. Kepahlawanan Indonesia sama sekali tak bisa dimonopoli
dan diklaim sebagai perjuangan dari salah satu golongan semata. Adalah perang
gerilya yang dikomandoi Jendral Soedirman. Diplomasi internasional yang
dipimpin Soekarno-Hatta. propaganda akar rumput yang digawangi Tan Malaka. Serta
dakwah para agamawan untuk mempertahankan tanah airlah yang membuat bangsa ini
merdeka. Tentu masih banyak lagi para pahlawan tak tercatat yang telah banyak
berperan. Pun dengan rakyat jelata yang secara kontributif menyumbangkan harta
benda bahkan nyawanya untuk perjuangan para pahlawan. Negeri ini sungguh
diperjuangkan dengan semangat kolektifitas dari begitu banyak perbedaan.
Namun demikian film tersebut dinilai masih memiliki tendensi
tertentu. Setidaknya terlihat saat menggambarkan tokoh-tokoh komunis seperti “penumpang
gelap”. Pemberontak. Hal ini lumrah dalam kajian sastra. Acapkali unsur
ekstrinsik memiliki pengaruh besar pada karya sastra, yang dalam hal ini film
Soedriman. Sebenarnya, tanpa mengecilkan para tokoh lain, peran Tan Malaka juga signifikan
untuk kemerdekaan Indonesia. Ya, tentu dengan posisi Tan saat itu. Ide-ide Tan
kerap mengilhami Soekarno dalam berbagai pengambilan keputusan.
Sejatinya kecurigaan kita pada bahaya laten komunis yang kerap diasosiasikan pada ideologi anti agama juga patut dipertanyakan. Setidaknya jika kita mencermati ide Tan Malaka dengan gagasan Pan Islamisme. Dalam pidatonya di Konggres Komunis Internasional, Tan secara gamblang menentang dikotomi Komunisme dan Islam. Setidaknya bagi Tan, Islam bisa berkolaborasi dengan Komunis untuk mencapai misi keduniaannya. Dengan mencontohkan Serekat Islam Tan, mengatakan Islam mampu mendorong semangat nasionalis-revolusioner. Hal ini yang oleh Tan selaras dengan semangat Komunis, setidaknya yang ada di Indonesia. Lewat Front Bersatu Tan seolah mengatakan “Komunis bukanlah anti agama dan ideolgi lain. Kita bisa bersatu melawan penjajah”.
Sejatinya kecurigaan kita pada bahaya laten komunis yang kerap diasosiasikan pada ideologi anti agama juga patut dipertanyakan. Setidaknya jika kita mencermati ide Tan Malaka dengan gagasan Pan Islamisme. Dalam pidatonya di Konggres Komunis Internasional, Tan secara gamblang menentang dikotomi Komunisme dan Islam. Setidaknya bagi Tan, Islam bisa berkolaborasi dengan Komunis untuk mencapai misi keduniaannya. Dengan mencontohkan Serekat Islam Tan, mengatakan Islam mampu mendorong semangat nasionalis-revolusioner. Hal ini yang oleh Tan selaras dengan semangat Komunis, setidaknya yang ada di Indonesia. Lewat Front Bersatu Tan seolah mengatakan “Komunis bukanlah anti agama dan ideolgi lain. Kita bisa bersatu melawan penjajah”.
Saya sendiri bukanlah penganut ataupun pembela komunisme.
Bukan pula kaum fundamentalis garis keras yang menghendaki negara Islam. Saya adalah
Pancasilais tulen. Paling tidak itu yang diajarkan oleh para guru di
sekolah-sekolah dulu. Bagi saya Indonesia telah sangat cerdik menggabungkan ide
besar dari beberapa ideologi besar. Soal sosialis-komunis kita paling sosialis.
Buktinya Pancasila kita mengamanatkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Soal Islami kita juga paling Islami. Nyatanya Ketuhanan menjadi
urutan pertama dalam dasar negara kita. Kalau dibilang liberal (baca:
demoktris) negara kita juga cukup liberal. Bukan hanya karena kebebasan
berpendapat yang dilindungi UUD kita, Pancasila kita juga memerintahkan untuk
berdialog lintas struktur bangsa lewat Musyawarah mufakatnya dalam
menyelesaikan ragam problematika.
Melihat begitu banyak pejuang yang dengan gagah berani telah
mengorbankan segala yang mereka punya untuk harga diri bangsa dan negara saya
jadi tergelitik untuk bertanya. Apa kabar semangat perjuangan kita wahai anak
muda? Adakah sesuatu yang sudah kita lakukan untuk mensyukuri perjuangan mereka
yang gugur di medan laga? Yah, paling tidak dengan sekedar duduk berdiskusi. Syukur
bersama PMII.
Salam Pergerakan! M E R D E K A !!
0 komentar:
Posting Komentar