Selasa, 08 Maret 2016

Tentang Diskusi Film Soedirman



(Oleh: Fajar, Wakil ketua bidang kaderisasi dan kajian keilmuan)

Gelak tawa dan debaran dada silih berganti mengiringi acara diskusi film yang diselenggarakan PMII Komisariat Dukuhwaluh dan Rayon Siti Nafisah malam ini (7/3). Film Soedirman yang disajikan sebagai bahan diskusi benar-benar menguras emosi para peserta. Berbagai adegan memaksa peserta menahan nafas. Misalnya saat Karsani, salah satu pemeran tentara rakyat, ditodong senjata dari berbagai penjuru. Karsani dipaksa menunjukkan persembunyian Jendral Soedirman. Ia menolak sehingga tanpa ampun peluru-peluru penjajah menghujami dada dan kepalanya. Namun tak jarang guyonan khas dan berbagai tingkah konyol tentara rakyat, yang umumnya tak berpendidikan militer, mengocok perut para peserta. Sungguh perpaduan yang apik.

Selesai film diputar, dilanjutkan dengan sesi diskusi. Berbagai pandangan dan pernyataan muncul dari para peserta yang didominasi calon anggota PMII. Benar saja, film yang diputar membuat semangat mereka meledak-ledak. Banyak nilai-nilai yang terkandung dalam film Soedirman yang menggugah heroisme nalar peserta. Beberapa peserta mengaitkan perjuangan Soedirman dengan konteks kehidupan sekarang. Salah satunya adalah tentang semangat dan optimisme Jendral Soedirman yang menurut Aras—salah seorang peserta—relevan diterapkan bahkan di zaman pasca perang seperti saat ini. Menurutnya perjuangan adalah tentang semangat dan optimisme. 

Pendapat senada di sampaikan oleh Laila, mahasiswa fakultas pendidikan ini melihat bahwa dunia pendidikan harus meneladani semangat perjuangan Soedirman. Idenya adalah bahwa sebagai calon pendidik kita harus berperang melawan kemrosotan moral bangsa. Baginya persoalan dekadensi moral adalah sesuatu yang harus diperangi. Ada juga yang jeli melihat peran agama dalam perjuangan Soedirman. “ Yang membedakan perjuangan orang islam dan non islam adalah do’a” begitu ujar Hasan, Mahasiswa IAIN Purwokerto ini menyimpulkan. Di beberapa adegan dalam film itu memang menampilkan ritual agama (Islam). Bahkan ada adegan di mana Soedirman dikepung oleh Belanda, dan dengan tenang Sang Jenderal Besar ini mengajak tentaranya menyaru menjadi warga yang sedang Tahlilan. Soedirman beserta tentaranya pun lolos.

Dalam keseluruhan film tersebut jelas sekali tersirat pesan bahwa kemerdekaan kita diperoleh berkat perjuangan pahlawan yang begitu heterogen. Masing masing tokoh mengambil peran sesuai posisinya masing-masing. Kepahlawanan Indonesia sama sekali tak bisa dimonopoli dan diklaim sebagai perjuangan dari salah satu golongan semata. Adalah perang gerilya yang dikomandoi Jendral Soedirman. Diplomasi internasional yang dipimpin Soekarno-Hatta. propaganda akar rumput yang digawangi Tan Malaka. Serta dakwah para agamawan untuk mempertahankan tanah airlah yang membuat bangsa ini merdeka. Tentu masih banyak lagi para pahlawan tak tercatat yang telah banyak berperan. Pun dengan rakyat jelata yang secara kontributif menyumbangkan harta benda bahkan nyawanya untuk perjuangan para pahlawan. Negeri ini sungguh diperjuangkan dengan semangat kolektifitas dari begitu banyak perbedaan.

Namun demikian film tersebut dinilai masih memiliki tendensi tertentu. Setidaknya terlihat saat menggambarkan tokoh-tokoh komunis seperti “penumpang gelap”. Pemberontak. Hal ini lumrah dalam kajian sastra. Acapkali unsur ekstrinsik memiliki pengaruh besar pada karya sastra, yang dalam hal ini film Soedriman. Sebenarnya, tanpa mengecilkan para tokoh lain, peran Tan Malaka juga signifikan untuk kemerdekaan Indonesia. Ya, tentu dengan posisi Tan saat itu. Ide-ide Tan kerap mengilhami Soekarno dalam berbagai pengambilan keputusan.

Sejatinya kecurigaan kita pada bahaya laten komunis yang kerap diasosiasikan pada ideologi anti agama juga patut dipertanyakan. Setidaknya jika kita mencermati ide Tan Malaka dengan gagasan Pan Islamisme. Dalam pidatonya di Konggres Komunis Internasional, Tan secara gamblang menentang dikotomi Komunisme dan Islam. Setidaknya bagi Tan, Islam bisa berkolaborasi dengan Komunis untuk mencapai misi keduniaannya. Dengan mencontohkan Serekat Islam Tan, mengatakan Islam mampu mendorong semangat nasionalis-revolusioner. Hal ini yang oleh Tan selaras dengan semangat Komunis, setidaknya yang ada di Indonesia. Lewat Front Bersatu Tan seolah mengatakan “Komunis bukanlah anti agama dan ideolgi lain. Kita bisa bersatu melawan penjajah”.

Saya sendiri bukanlah penganut ataupun pembela komunisme. Bukan pula kaum fundamentalis garis keras yang menghendaki negara Islam. Saya adalah Pancasilais tulen. Paling tidak itu yang diajarkan oleh para guru di sekolah-sekolah dulu. Bagi saya Indonesia telah sangat cerdik menggabungkan ide besar dari beberapa ideologi besar. Soal sosialis-komunis kita paling sosialis. Buktinya Pancasila kita mengamanatkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Soal Islami kita juga paling Islami. Nyatanya Ketuhanan menjadi urutan pertama dalam dasar negara kita. Kalau dibilang liberal (baca: demoktris) negara kita juga cukup liberal. Bukan hanya karena kebebasan berpendapat yang dilindungi UUD kita, Pancasila kita juga memerintahkan untuk berdialog lintas struktur bangsa lewat Musyawarah mufakatnya dalam menyelesaikan ragam problematika.

Melihat begitu banyak pejuang yang dengan gagah berani telah mengorbankan segala yang mereka punya untuk harga diri bangsa dan negara saya jadi tergelitik untuk bertanya. Apa kabar semangat perjuangan kita wahai anak muda? Adakah sesuatu yang sudah kita lakukan untuk mensyukuri perjuangan mereka yang gugur di medan laga? Yah, paling tidak dengan sekedar duduk berdiskusi. Syukur bersama PMII.

Salam Pergerakan! M E R D E K A !!

0 komentar:

Posting Komentar