Senin, 16 Mei 2011

PRAMOEDYA, BERJUANG DENGAN SASTRA


Oleh Taufan Hidayat

Pramodya Ananta Toer itulah nama lengkap sastrawan legendaris yang pernah dimiliki Indonesia. Ide yang selalu dipendam akan membunuhmu. Begitulah yang terjadi dan pernah menimpa sang maestro sastra Indonesia, Pramodya Ananta Toer.

Pasalnya, ketika ia temukan lembaran dokumen tulisan Soekarno, ide dan mimpi besar menghinggapi dirinya. Seperti halnya menemu harta karun, itulah yang dirasa Pram. Namun ketika hendak ia mencipta adikaryanya, yang mengungkap sebuah rahasia besar tentang sejarah Bangsa Indonesia ini, ia justru bermukim di Penjara Pulau Buru. Obsesi tinggi akan mimpi dan idenya membuatnya hampir bunuh diri. Sebab dalam penjara ia kehilangan cara untuk menulis.

Sebagai akan pertama Pram memilki kedewasaan dan kematangan berfikir. Kepiawaiannya bertutur telah nampak ketika masa kecil hingga remajanya. Cerita Klentreng Gothang dan Kancil Blangkonan yang sering didongengkan Pram kepada adik-adiknya adalah bukti. Pramodyapun miliki selera seni yang tinggi. Pernah Pram miliki kebiasaan mengumpulkan pecahan keramik. Bukan untuk koleksi atau apa, melainkan untuk ia susun menjadi mozaik yang berseni tinggi.

“Besarkan jiwamu dulu jika ingin jadi orang besar.” Kutipan kalimat yang pernah dilontarkan dalam film Three Idiot ini terbukti. Pasalnya pengalaman adikodrati yang pernah menimpa Pram semasa di penjara Buru telah membesarkan jiwanya.

“Dan tiba-tiba kelihatan di mukaku, di atas sana, bangunan gedung Yunani dengan pilar-pilarnya yang besar, dan di atasnya atap segitiga itu. Di atas atap itu bersinar cahaya terang benderang melalap tubuhku…”Tiba-tiba…duarrr! Terdengar ledakan yang keras sekali. Begitu keras! Sampai sekujur tubuhku menggigil. Lalu nyawaku kembali…” Kata Pram yang pernah ditulis dalam catatan hariannya.

Sebuah pengalaman spiritual tentang kematian membuat cara berfikir Pram lebih bijak. “Kalau mau mati, dari dulu-dulu aku sudah mati,” katanya. “Buatku, mati itu bukan apa-apa. Aku nggak takut mati. Menghadapi pemerintah ini juga aku nggak takut.” Pada akhirnya selama dalam penjara Pram hanya memendam segala ide dan mimpi. Setelah bebas ia dari penjara, mulailah Pram memuntahkan segala ide yang yang selama ini hapir-hampir membunuhnya.

Syahdan, semua tak semulus yang dibayangkan. Pasalnya pasca Pram merampungkan karyanya yang pertama. Dan setelah beredar pemerintah segera mengeluarkan larangan. Karena dianggap berbahaya dan mampu mempengaruhi cara berfikir pembacanya. Ribuan buku yang telah terbit dimusnahkan dan dilarang peredarannya. Alhasil, nama Pramodyapun dijadikan ikon perlawanan bagi mereka yang tertindas dan yang tak puas dengan pemerintahan negeri ini.

Setelah era reformasi bergulir, karya-karyanya diterbitkan ulang. Nama Pram semakin melambung tinggi. Setiap kiprahnya selalu menarik perhatian masa, belum lagi ditambah dengan sejumlah penghargaan dari luar negeri yang terus menerus mengalir diberikan padanya. Setiap tahun namanya selalu dikait-kaitkan dengan anugerah Nobel Sastra. Berbagai media berlomba menyajikan berita dan wawancara mengenai dirinya. Hampir semua berkisar mengenai karya-karyanya, sikap politiknya, pandangan-pandangannya terhadap kondisi poilitik, sosial, dll.

Berbagai buku tentangnya telah ditulis, namun tak satupun menyentuh kehidupan pribadinya. Kehidupan pribadinya tenggelam dalam kebesaran namanya. Bahkan menjelang kematiannya sosok pribadinyapun tetap asing. Sebuah perjalanan hidup fenomenal yang dilalui dengan latar belakang kesederhanaan. Namun lihatlah betapa besar karya yang diciptakannya. Meski telah jadi tanah jasadnya, namanya tetap harum sebagai sastrawan besar dan terbaik yang pernah dimiliki Bangsa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar